TAK banyak muslim yang tahu. Ada peristiwa penting apa terjadi di bulan
Maret. Tepatnya tanggal 3 di tahun 1924. Kurang lebih 90 tahun terhitung
dari sekarang. Sebuah tragedi besar yang membalik penuh tatanan hidup
umat Islam.
Ini bukan tsunami atau bencana alam yang menyisakan korban jiwa. Namun
malapetaka dahsyat. Runtuhnya negara adidaya yang telah berusia 14 abad
lamanya, Daulah Khilafah Islamiyah.
Adalah Mustafa Kemal Ataturk, seorang militer Turki dari Salonica.
Sayang, pribadinya tak seindah namanya. Begitu benci pada bangsa Arab,
bukan tanpa alasan, karena memang darah yang mengalir di tubuhnya adalah
Yahudi tulen. Yahudi Daunamah sebutannya. Yaitu kaum yahudi yang
berpura-pura memeluk agama Islam. Ia adalah orang yang paling
bertanggungjawab atas runtuhnya Khilafah Islamiyah.
Memang sejak kecil, jiwa pemberontak telah nampak. Sering ia bertengkar
dengan gurunya di sekolah Fatimah. Hingga bapaknya memindahkannya ke
sekolah yang memasukkan kurikulum Barat dalam pendidikannya. Saat
usianya 17 tahun, dia masuk ke sekolah Tentara Monaster. Di sinilah,
pengelanaannya dalam dunia politik dimulai dengan memasuki
gerakan-gerakan bawah tanah sebagai antek-antek barat.
Nasionalisme biang kehancuran
Apa hubungan nasionalisme dengan kehancuran khilafah? Mengutip pakar
sejarah Mahmud Syakir dalam bukunya Tarikh Islam Daulah Utsmaniyah,
Najah menyebutkan bahwa sarana untuk menghancurkan kekuatan pemerintahan
Islam di Turki waktu itu adalah dengan menghidupkan paham nasionalisme.
Nasionalisme bukan hanya terbatas pengertiannya pada cinta tanah air
saja. Lebih dari itu, adalah sebuah paham dimana individu memberikan
kesetiaan tertingginya hanya pada negara kebangsaan.
Eropa dan anteknya paham betul kalau kekuatan umat Islam terletak pada
persatuannya. Jika umat dikotak-kotakkan dalam suku dan bangsanya,
Daulah akan melemah, terputus jaringannya dan akhirnya ambruk. Dimulai
dengan mengadu domba Turki dan Arab. Kenapa mesti kedua bangsa itu?
Menurut Muhammad Abduh, dalam Al-Jam’iyah al-Islamiyah wa al-fikrah
al-Qawmiyyah, Dar asyu-syuruq, 1414-1994, hal 53,54 karangan Dr.
Muhammad Imarah. “Maka jika kedua kekuatan itu melemah, Eropalah yang
menjadi kuat. Mereka sudah lama menunggu antara pertarungan umat Islam
tersebut, kemudian berusaha untuk menguasai kedua bangsa tersebut atau
salah satunya yang terlemah. Padahal waktu itu bangsa Arab dan bangsa
Turki merupakan bangsa yang terkuat di dalam tubuh umat Islam. Oleh
karenanya, akibat dari pertarungan kedua bangsa itu, jelas akan kekuatan
Islam menjadi lemah sekaligus merupakan jalan pintas menuju
kehancurannya”
Partai Persatuan dan pengembangan yang berpusat di Paris dalangnya.
Mereka menghembuskan paham ketinggian bangsa Turki dibanding Arab.
Hingga ada usaha melengserkan orang-orang Arab dari kementerian wakaf,
kementerian dalam negeri, dan kementerian luar negeri untuk diganti
dengan orang Turki saja. Bangsa Arab tentu saja berang dengan gerakan
ini.
Dalam waktu singkat muncullah gerakan ”fanatisme arab”. Bermula dari
pelataran bumi Syam, fanatisme ini berkembang dan membesar hingga ke
berbagai kawasan. Di tambah beredarnya hadits palsu lagi menyesatkan ”
Hubb al-wathan min al-iman (Cinta tanah air termasuk iman)”, maka pada
saat perang dunia I pecah, 1914-1918, digunakanlah kesempatan ini oleh
bangsa Arab untuk memisahkan diri dari khilafah Utsmaniyah.
Akibat pertikaian antara dua kubu ini. Rantai kemalangan yang
sambung-menyambung semakin membelit kaum muslimin tanpa mereka sadari.
Puncaknya pada 03 Maret 1924, penghapusan sistem Khilafah oleh Mustafa
Kemal Ataturk yang sebelumnya berhasil merebut tampuk kekuasaan
utsmaniah. Kemudian menggantinya dengan negara republik berasas
sekularisme.
Tanpa Khilafah, Muslim tak ada apa-apanya
Seperti ikan yang dipaksa hidup di daratan kering, tanpa air sebagai
habitatnya, begitulah kaum muslimin tanpa khilafah. Tak ada apa-apanya.
Lenyapnya Khilafah berarti lenyap pula penjagaan Islam pada seluruh
penerapan hukum syara’. Sebagaimana dikatakan Rasulullah SAW, seorang
Khalifah (Imam) adalah bagaikan perisai atau benteng bagi Islam,
umatnya, dan negeri-negeri Islam. Sabda Nabi SAW :
“Sesungguhnya Imam (Khalifah) adalah ibarat perisai; orang-orang
berperang di belakangnya dan berlindung dengannya.” (HR. Muslim, Abu
Dawud, An Nasa`i, dan Ahmad)
Teringat kembali, kisah seorang budak muslimah dari Bani Hasyim. Ia
dilecehkan oleh seorang pemuda Romawi saat berbelanja ke pasar. Kainnya
diikatkan pada paku, hingga saat berdiri nampaklah auratnya. Khalifah
Al-Mu’tasim mendengar hal itu, langsung mengutus pasukan guna memberi
pelajaran si lelaki usil. Tak tanggung-tanggung. Pasukan yang dikirim,
ujungnya masih berada depan gerbang khalifah di Baghdad, sedang ujung
lainnya telah sampai di Ammuriah, Turki. Begitulah penjagaan khilafah
atas kehormatan warganya.
Coba bandingkan dengan perlakuan negara pada muslimah saat ini. Bukannya
difasilitasi, polwan yang ingin taat menggunakan kerudung justru
dilarang. Lokalisasi makin marak, perempuan yang menjajakan tubuhnya
malah disebut ‘pahlawan’. Itu di Indonesia, di belahan bumi lain,
katakanlah di Bumi Syam, palestina, dan sebagian negeri Timur Tengah.
penindasan, pelecehan, pembantaian belumlah berakhir.
Betul kekata Imam Al- Ghazali : “…agama adalah pondasi (asas) dan
kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi
niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang yang tidak berpenjaga niscaya
akan hilang lenyap.” Tanpa khilafah, Islam memang masih ada. Buktinya,
Indonesia mayoritas penduduknya muslim. Bahkan tak sulit menemukan
majelis-majelis dzikir dan semacamnya. Akan tetapi, itu bukan Islam yang
kekuatannya mampu menggetarkan musuh Allah. Islam hanya dipandang
sebatas agama saja. ada untuk mengurusi ibadah ritual dan aspek moral.
Tapi giliran ekonomi, pendidikan, politik, dan pengaturan publik, Islam
nayatanya tak terpakai.
Janin Revolusi
Tidak keliru rasanya jika disebut ‘janin’, merujuk pada bibit yang
mengandung kehidupan. Bukan lagi embrio, namun belum pantas juga disebut
bayi kecil. Sebab Revolusi sejati, nyatanya belumlah terlahir. Revolusi
yang berasaskan Aqidah Islam. Telah banyak gerakan sejak berakhirnya
masa khilafah, abad 13 Hijriah, untuk melahirkan kembali ‘janin’ itu.
Namun, thariqah(metode) yang ditempuh tidak jelas dan kabur. Ditambah
hegemoni barat yang bercokol kuat sampai ke akar. Memang pernah ada
harapan saat pergolakan timur tengah melanda. Tapi sebatas asa sebab
tidak terpenuhinya dua unsur utama agar arahnya benar.
Pertama, menjadikan Islam, baik aqidah maupun syariahnya, sebagai
panduan ideologis untuk mendirikan khilafah, yang akan menerapkan Islam
secara utuh di dalam negeri dan menyebarkan Islam dengan jihad ke luar
negeri.
Kedua, menolak secara total segala bentuk intervensi asing ke
negeri-negeri Islam dan tidak minta bantuan kepada asing. Yang terjadi
hanyalah perubahan sosok pemimpin, bukan perubahan sistem menjadi
khilafah. Ada pula yang mengatasnamakan diri komunitas dendam 1924.
Sebenarnya tidak salah, namun rasanya tidak tepat saja penggunaan kata
dendam itu. Walaupun memang penderitaan akibat keruntuhan Khilafah
begitu terasa menyakitkan. Pembalasan dendam bukan sifat kaum muslimin.
Maka mengenang kembali 03 Maret 1924, mari ubah energi dendam itu
menjadi ikhtiar perjuangan yang lebih maksimal dari sebelumnya. Sebab
kisah kegemilangan dan keruntuhan khilafah bukan sebatas romantisme
sahaja. Atau dongeng pengantar tidur untuk anak-anak kita kelak. Namun,
ianya harus dijadikan pemantik. Pelecut semangat untuk lahirnya revolusi
Islam hakiki. Wallahu a‘lam bi ash-shawab.
0 komentar:
Posting Komentar