Bung Tomo
adalah pahlawan yang berasal dari kota Surabaya. Beliau memiliki jasa
besar terhadap upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia, yaitu pada
saat melawan penjajah yang ingin kembali menjajah Indonesia tepatnya di
kota Surabaya. Beliau berhasil menjadi orator dan membakar semangat
arek-arek Suroboyo untuk melawan kembalinya penjajah yang kita kenal
dengan pertempuran 10 November 1945 yang diperingati sebagai Hari
Pahlawan.
Biodata Bung Tomo
Nama Lengkap : Sutomo
Tempat Lahir : Surabaya, Jawa Timur
Tanggal Lahir : 03 Oktober 1920
Agama : Islam
Kebangsaan : Indonesia
Dikenal : Sebagai Pahlawan Indonesia
Kehidupan
Bung Tomo lahir
pada 3 Oktober 1920 di Surabaya, Jawa Timur. Sutomo lebih dikenal
dengan nama Bung Tomo oleh rakyat. Bung Tomo dibesarkan dalam keluarga
kelas menengah, dan juga keluarga yang sangat menghargai dan menjunjung
tinggi pendidikan. Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo adalah seorang
kepala keluarga dari kelas menengah. Ia pernah bekerja sebagai pegawai
pemerintahan, sebagai staf pribadi di sebuah perusahaan swasta, sebagai
asisten di kantor pajak pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan
ekspor-impor Belanda. Bung Tomo mengaku mempunyai pertalian darah dengan
beberapa pendamping dekat Pangeran Diponegoro. Ibunya berdarah campuran
Jawa Tengah, Sunda, dan Madura.
Bung Tomo suka
bekerja keras untuk memperbaiki keadaan agar menjadi lebih baik. Pada
saat usia 12 tahun, ketika ia terpaksa meninggalkan pendidikannya di
MULO, Bung tomo melakukan berbagai pekerjaan kecil-kecilan untuk
mengatasi dampak depresi yang melanda dunia saat itu. Belakangan ia
menyelesaikan pendidikan HBS-nya lewat korespondensi, namun tidak pernah
resmi lulus.
Di usia muda
Bung Tomo aktif dalam organisasi kepanduan atau KBI. Bung Tomo kemudian
bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Sutomo menegaskan
bahwa filsafat kepanduan, ditambah dengan kesadaran nasionalis yang
diperolehnya dari kelompok ini dan dari kakeknya, merupakan pengganti
yang baik untuk pendidikan formalnya. Pada usia 17 tahun, ia menjadi
terkenal ketika berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang
mencapai peringkat Pandu Garuda.
Bung Tomo
memiliki minat pada dunia jurnalisme. Ia pernah bekerja sebagai wartawan
lepas pada Harian Soeara Oemoem di Surabaya pada tahun 1937. Setahun
kemudian, ia menjadi Redaktur Mingguan Pembela Rakyat serta menjadi
wartawan dan penulis pojok harian berbahasa Jawa, Ekspres, di Surabaya
pada tahun 1939.
Pada masa
pendudukan Jepang, Bung Tomo bekerja di kantor berita tentara pendudukan
Jepang, Domei, bagian Bahasa Indonesia untuk seluruh Jawa Timur di
Surabaya pada tahun 1942-1945. Saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945 dikumandangkan, beliau memberitakannya dalam bahasa Jawa bersama
wartawan senior Romo Bintarti untuk menghindari sensor Jepang.
Selanjutnya, beliau menjadi Pemimpin Redaksi Kantor Berita Antara di
Surabaya.
Perjuangan Pertempuran Surabaya 10 November 1945
Pada tahun 1944
ia menjadi anggota Gerakan Rakyat Baru yang disponsori Jepang, hampir
tak seorang pun yang mengenal dia. Namun semua ini mempersiapkan Bung
Tomo untuk menjalankan peranannya yang sangat penting.
Pada 19 September 1945 sebuah insiden terjadi di Hotel Yamato,
Surabaya. Sekelompok orang Belanda memasang bendera mereka. Rakyat
marah. Seorang Belanda tewas dan bendera merah-putih-biru itu
diturunkan. Bagian biru dirobek, tinggal merah-putih, yang langsung
dikibarkan.
Di Jakarta,
pasukan Sekutu datang pada 30 September 1945. Para serdadu Belanda ikut
rombongan. Bendera Belanda berkibar di mana-mana. Saat itu, Bung Tomo
masih berstatus wartawan kantor berita ANTARA. Ia juga kepala bagian
penerangan Pemuda Republik Indonesia (PRI), organisasi terpenting dan
terbesar di Surabaya pada saat itu.
Di Jakarta,
Bung Karno meminta para pemuda untuk menahan diri, tak memulai
konfrontasi bersenjata. Bung Tomo kembali ke Surabaya. "Kita (di
Surabaya) telah memperoleh kemerdekaan, sementara di ibukota rakyat
Indonesia terpaksa harus hidup dalam ketakutan," katanya seperti dicatat
sejarawan William H. Frederick dari Universitas Ohio, AS.
Pada bulan
Oktober dan November 1945, ia menjadi salah satu Pemimpin yang sangat
penting, karena ia berhasil menggerakkan dan membangkitkan semangat
rakyat Surabaya, yang pada waktu itu Surabaya diserang habis-habisan
oleh pasukan Inggris yang mendarat untuk melucutkan senjata tentara
pendudukan Jepang dan membebaskan tawanan Eropa.
Pada 9 November
dikeluarkannya ultimatum yang ditunjukkan kepada para staf Gubernur
Soerjo yang berbunyi, pertama, seluruh pemimpin rakyat Surabaya harus
menyerahkan diri paling lambat pukul 18.00 di hari itu dengan tangan di
atas kepala. Kedua, seluruh senjata harus diserahkan. Lalu, pembunuh
Mallaby menyerahkan diri. Jika kedua hal tersebut diabaikan, Sekutu
bakal mulai menyerang pada pukul 06.00 keesokan harinya. Seperti
ultimatum terdahulu, pamflet berisi ultimatum disebar lewat udara. Jika
tidak dipatuhi, pada 10 November mulai pukul 06.00, Inggris akan mulai
menggempur.
Pertempuran di
Surabaya, 10 November 1945, Bung Tomo tampil sebagai orator ulung di
depan corong radio, membakar semangat rakyat untuk berjuang melawan
tentara Inggris dan NICA-Belanda.
Image Courtesy of id.wikipedia.org
Bunyi Pidato Bung Tomo
Berikut ini
bunyi dari pidato Bung Tomo yang pada saat itu berhasil membakar
semangat para arek-arek Suroboyo untuk melawan sekutu demi
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Bismillahirrohmanirrohim..
Merdeka!!!
Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh Indonesia terutama
saudara-saudara penduduk kota Surabaya. Kita semuanya telah mengetahui.
Bahwa hari ini tentara Inggris telah menyebarkan pamflet-pamflet yang
memberikan suatu ancaman kepada kita semua. Kita diwajibkan untuk dalam
waktu yang mereka tentukan, menyerahkan senjata-senjata yang telah kita
rebut dari tangan tentara Jepang. Mereka telah minta supaya kita datang
pada mereka itu dengan mengangkat tangan. Mereka telah minta supaya kita
semua datang pada mereka itu dengan membawa bendera putih tanda bahwa
kita menyerah kepada mereka.
Saudara-saudara.
Di dalam pertempuran-pertempuran yang lampau kita sekalian telah menunjukkan bahwa rakyat Indonesia di Surabaya.
Pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku, pemuda-pemuda yang berasal dari
Sulawesi, pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Bali, pemuda-pemuda yang
berasal dari Kalimantan, pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera, pemuda
Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya
ini. Di dalam pasukan mereka masing-masing. Dengan pasukan-pasukan
rakyat yang dibentuk di kampung-kampung.
Telah menunjukkan satu pertahanan yang tidak bisa dijebol. Telah
menunjukkan satu kekuatan sehingga mereka itu terjepit di mana-mana.
Hanya karena taktik yang licik daripada mereka itu saudara-saudara.
Dengan mendatangkan Presiden dan pemimpin-pemimpin lainnya ke Surabaya
ini. Maka kita ini tunduk untuk memberhentikan pertempuran. Tetapi pada
masa itu mereka telah memperkuat diri. Dan setelah kuat sekarang inilah
keadaannya.
Saudara-saudara kita semuanya. Kita bangsa indonesia yang ada di
Surabaya ini akan menerima tantangan tentara Inggris itu, dan kalau
pimpinan tentara inggris yang ada di Surabaya. Ingin mendengarkan
jawaban rakyat Indonesia. Ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda
Indonesia yang ada di Surabaya ini. Dengarkanlah ini tentara Inggris.
Ini jawaban kita. Ini jawaban rakyat Surabaya. Ini jawaban pemuda Indonesia kepada kau sekalian.
Hai tentara Inggris !
Kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk
kepadamu. Kau menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu. Kau
menyuruh kita membawa senjata2 yang telah kita rampas dari tentara
jepang untuk diserahkan kepadamu. Tuntutan itu walaupun kita tahu bahwa
kau sekali lagi akan mengancam kita untuk menggempur kita dengan
kekuatan yang ada tetapi inilah jawaban kita. Selama banteng-banteng
Indonesia masih mempunyai darah merah. Yang dapat membikin secarik kain
putih merah dan putih. Maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah
kepada siapapun juga.
Saudara-saudara rakyat Surabaya, siaplah keadaan genting!
Tetapi saya peringatkan sekali lagi. Jangan mulai menembak, baru kalau
kita ditembak, Maka kita akan ganti menyerang mereka itulah kita
tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka.
Dan untuk kita saudara-saudara.
Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati!
Dan kita yakin saudara-saudara.
Pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita, sebab Allah
selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara. Tuhan
akan melindungi kita sekalian.
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Merdeka!!!
Image Courtesy of www.panoraimo.com
Setelah Kemerdekaan
Bung Tomo sempat terjun dalam dunia politik pada tahun 1950, dan
kemudian menghilang dari panggung politik karena ia tidak merasa bahagia
terjun di dunia politik. Pada akhir masa pemerintahan Soekarno dan awal
pemerintahan Suharto yang mula-mula didukungnya, Sutomo kembali muncul
sebagai tokoh nasional.
Pada awal tahun 1970, ia kembali dan mempunyai pandangan pendapat yang
berbeda dengan pemerintahan Orde Baru. Ia berbicara dengan keras
terhadap program-program yang dijalankan oleh Suharto sehingga pada 11
April 1978 ia ditahan oleh pemerintah Indonesia yang tampaknya khawatir
akan kritik-kritiknya yang keras tersebut. Baru setahun kemudian ia
dilepaskan oleh Suharto.
Akhir Hidup
Pada 7 Oktober 1981 Bung Tomo meninggal dunia di Padang Arafah, saat
sedang menunaikan ibadah haji. Berbeda dengan tradisi untuk memakamkan
para jemaah haji yang meninggal dalam ziarah ke tanah suci yang harus
dimakamkan di tanah suci, tapi jenazah Bung Tomo dibawa kembali ke tanah
air dan dimakamkan bukan di sebuah Taman Makam Pahlawan, melainkan di
Tempat Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya.
Image Courtesy of rusabawean.com
Gelar Sebagai Pahlawan Indonesia
Setelah pemerintah didesak oleh Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi
Partai Golkar (FPG) agar memberikan gelar pahlawan kepada Bung Tomo pada
9 November 2007. Akhirnya gelar pahlawan nasional diberikan ke Bung
Tomo bertepatan pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008.
Keputusan ini disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika
Kabinet Indonesia Bersatu, Muhammad Nuh pada tanggal 2 November 2008 di
Jakarta.
Penutup
Sejarah mencatat bahwa perlawanan rakyat Indonesia di Surabaya yang
terdiri atas berbagai suku bangsa sangat dahsyat. Tidak ada rasa takut
menghadapi tentara Inggris yang bersenjata lengkap. Tanggal 10 November
kita kenang sebagai Hari Pahlawan. Bung Tomo terutama dikenang karena
seruan-seruan pembukaannya di dalam siaran-siaran radionya yang penuh
dengan emosi.
0 komentar:
Posting Komentar