.
Nama
saya Sayed. Saya bukan druze, Hisbullah, Hamas, PLO atau komunis.
Saya adalah Kristen Palestina. Saya telah berjuang bersama Nasrallah
dari Hisbullah sejak saya kecil. Melempar tank tank Israel dengan batu
dan menyusupkan pesan pesan panglima kepada pejuang kami di Tepi Barat
dan Jalur Gaza. Orang tua saya terbunuh di kamp Sabra dan Shatila , dua puluh delapan tahun lalu. Kata kakek saya mayat mereka begitu menyedihkan. Kapak dan pisau kaum Falangis telah memenggalnya.
Lihat sejarah yang pernah ditulis tentang pembantaian itu. Pada tanggal 23 Agustus 1982, Bashir Gemayel
salah seorang pemimpin Kristen Maronit terpilih menjadi presiden
Lebanon. Ia harus menjembatani kelompok Falangis – faksi milisi Kristen –
yang terbagi dua kubu. Memihak Israel dan disatu sisi memilih Suriah.
Bashir Gemayel menolak tekanan Israel dan tidak memberikan kuasa kepada
tentara Israel untuk menyerahkan gerilyawan Palestina yang bermukim di
Lebanon. Hingga tak berapa lama sebuah bom membunuhnya.
Kelompok Muslim dan Palestina menyangkal terlibat dalam kejadian ini.
Sementara Isreal mempersalahkan Palestina. Ini membuat kelompok Falangis
kembali bersatu dan mencurigai Palestina. Walau banyak pihak percaya
justru agen Mossad berada di balik pembunuhan Presiden Lebanon ini.
15 September 1982. Israel memasuki Beirut barat, dan membunuh ratusan
orang. Mereka lalu mengundang faksi Falangis – yang emosinal – untuk
memasuki kamp pengungsi Sabra dan Shatila yang berisi pengungsi
Palestina, dengan alasan mencari gerilyawan Palestina dan menyerahkan
kepada Israel. Kelompok yang dipimpin Eli Hobeika selama 3
hari melakukan pembantaian yang mengerikan. Tentara Israel menutup
seluruh jalan pintu keluar masuk kamp, dan terus menembakan peluru suar
sepanjang malam. Mereka juga aktif menembaki dan mengebom kamp yang tak
berdaya ini. Tidak satupun gerilyawan tertangkap atau diserahkan kepada
Israel.
Justru penduduk sipil, wanita dan anak anak yang terbantai. Sebagian
dengan tubuh terbelah belah. BBC mencatat 700 – 800 orang tewas. Dalam
bukunya yang diterbitkan segera setelah pembantaian itu, wartawan
Israel, Amnon Kapeliouk dari Le Monde Diplomatique, menyimpulkan sekitar 2.000 jenazah yang disingkirkan oleh para Falangis itu sendiri setelah pembantaian itu.
Saya selalu teringat itu, dan jauh sebuah negeri yang dinamakan
Indonesia pernah mengalami masa heroik perjuangan merebut kemerdekaan.
Devide it impera, politik memecah Israel mungkin terdengar biasa seperti
yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda atau penjajah dimana mana.
Menggunakan tentara Marsose asal ambon, manado, Jawa dan Bali untuk
menggempur pejuang pejuang militan negeri ini. Mulai pengkhianatan
Panglima Tibang atau Pang Lao dalam perang Aceh, sampai menggunakan Aru
Palaka untuk menundukan kerajaan Gowa di Sulawesi.
Ini bukan masalah agama pada akhirnya. Beruntung sejarah kemerdekaan
negeri Indonesia itu tak pernah terdengar pertikaian Kristen – Islam
atau Ambon melawan Jawa. Lebih banyak pejuang pejuang nasionalis dan
heroik datang dari Minahasa, Ambon, Batak atau Bali.
Selalu ada sentimen sentimen etnik , agama yang dapat dipakai sebagai
sekutu oleh penjajah. Nazi memakai etnik Kroasia untuk menjadi garda
depannya mengejar tentara partisan Yugoslavia yang didonimasi Serbia.
Saya adalah Sayed. Kristen Palestina. Selain mayoritas Muslim, Palestina juga terdiri dari pejuang pejuang Kristen. Bahkan George Habbash – pimpinan PLO dari faksi garis keras Kristen Marxist – sebagai orang yang paling dicari cari Israel selain Yaser Arafat.
Kami adalah Palestina. Bukan bangsa Arab atau Bangsa Yahudi. Jumlah
penduduk Kristen di tanah suci ini justru terbanyak di Palestina. Bukan
di Lebanon.
Pemimpin kami, Abu Ammar, kerap dikenal sebagai Yaser Arafat – yang
istrinya seorang Kristen – menepis anggapan bahwa perjuangan Palestina
melawan kolonialisme Israel adalah perang agama. Ini perjuangan
kemerdekaan suatu bangsa yang mengimpikan memiliki Negara yang merdeka
dan berdaulat.
Bahkan Juru bicara pertama kami di Perserikatan Bangsa Bangsa, Hanan Asrawi seorang diplomat Kristen yang tangguh.
Saya tak pernah menerima bahwa negeri kami lahir dari kompromi.
Negeri kami semestinya lahir atas persamaan nasib. Bukan kompromi yang
diangkat menjadi doktrin Negara.
Politik Israel selalu ingin memisahkan bangsa Palestina. Mereka ingin
Kristen Palestina dan Muslim Palestina memiliki sikap yang berbeda. Dan
ini tidak akan terjadi karena rakyat Palestian selalu bersatu. Kaum
Muslimin dan Kristen di Palestina, khususnya di Jerussalem, adalah
seperti satu keluarga sejak masuknya Islam ke Palestina,
Lihat saja Uskup Atalla, dari Gereja Orthodok di Jerussalem ,
mendukung aksi syahid yang dilakukan pejuang Palestina. Bahkan ia
menegaskan bahwa aksi syahid itu bukanlah terorisme.
Saya Sayed bangsa Palestina menangis terharu mendengar uskup berkata “
Bila pejuangan kemerdekaan itu dianggap sebagai terorisme, maka sayalah
teroris yang paling pertama,” katanya. Menurutnya, siapapun yang
berkunjung dan menyaksikan penderitaan rakyat Palestina akan bisa
memahami latar belakang atau motivasi yang mendorong para pejuang
melakukan aksi syahid.
Saya tak tahu apakah masih ada harapan melawan Israel yang konon
dianggap bangsa pilihan Tuhan menurut kitab kitab Taurat. Ini juga bukan
Daud yahudi melawan Goliath dari Filistin. Ini adalah sebuah jejak.
Jejak penindasan atas hak hak kemerdekaan negeri kami.
Kami tidak membutuhkan mati syahid menurut cara bangsa lain. Kami akan
memenangkan pertempuran dengan cara kami sendiri, Cara syahid bangsa
Palestina.
Saya adalah Sayed. Saya bangga menjadi Palestina yang utuh.
sumber
0 komentar:
Posting Komentar