Kota New York sedang dilanda badai salju. Sejak tengah malam lalu, salju turun tiada henti membuat jalanan menjadi sepi dan licin. Sebagian besar warga memilih tinggal di rumah, berbagai institusi ditutup sementara, termasuk sekolah-sekolah dan bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Aku sendiri cukup malas untuk meninggalkan rumah pagi. Tapi entah
kenapa, rasanya aku tetap terpanggil untuk melangkahkan kaki menuju
kantor PTRI, dan selanjutnya ke Islamic Center. Ternyata kantor PTRI
juga pagi ini hanya dibuka hingga pukul 12 siang.
Aku segera menuju Islamic Cultural Center of New York dengan tujuan
sekedar shalat dzuhur dan asar sekalian. Lazimnya, ketika ada badai
salju atau hujan lebat, jama’ah meminta untuk menjama’ shalat.
Setiba di Islamic Center aku segera menuju ruang shalat, selain
untuk melihat apakah pemanas ruangan telah dinyalakan atau belum, juga
untuk shalat sunnah.
Tiba-tiba saja Sekretaris memanggil, “Someone is waiting for you!”. “Let me do my sunnah and will be there!,” jawabku.
Setelah shalat sunnah, segera aku menuju ke ruang perkantoran
Islamic Center. Di ruang tamu sudah ada seseorang yang relatif berumur,
tapi tampak elegan dalam berpakaian.
“Hi, good morning!,” sapaku.
“Good morning!,” jawabnya dengan sangat sopan dan ramah.
“Waiting for me?,” tanyaku sambil menjabat tangan.
“Yes, and I am sorry to bother you at this early time,” katanya sambil tersenyum.
Aku mengajak pria berkulit putih tersebut ke ruangan kantor aku.
Dengan berbasa-basi aku katakan “Wah mudah-mudahan Anda diberikan pahala
atas perjuangan mengunjungi Islamic Center dalam suasana cuaca seperti
ini,” kataku.
“Oh not at all!. We used to this kind of weather,” jawabnya.
“So, what I can do for you this morning,” tanyaku memulai
pembicaraan. Tanpa aku sadari orang tersebut masih berdiri di depan
pintu. Barangkali dia tidak ingin lancang duduk tanpa dipersilahkan.
Memang dia tampak sopan, tapi dari kata-katanya dapat dipahami bahwa dia
cukup terdidik.
“Please do have your sit!,” kataku.
“Thanks sir!,” jawabnya singkat.
Setelah duduk Aku ulangi lagi, pertanyaan sebelumnya “what I can do for you this morning?.” Sambil membalik posisi duduknya, dia melihat ke arahku dengan sedikit serius, tapi tetap dengan senyumnya.
“I am here for….,’ seolah terhenti..”for some clarifications!,” jawabnya.
Intinya, ia mengaku telah banyak membaca, mengamati dan belajar agama. "Harus jujur Aku tahu tentang hal itu banyak," jelasnya.
“That’s great!,” kataku. Dia mengaku, dari waktu ke waktu,
pertanyaan tentang agamanya terus bertambah. Sementara perasaan
terhadap Islam justru makin tumbuh.
Pria itu, mengubah posisi duduknya dan bercerita. "Aku dulu sangat
marah. Aku benar-benar membenci agama ini!, jelasnya. “Aku merasa agama
dan para pengikutnya telah menyerbu negara saya, “ tambahnya dengan
sangat serius.
"Jadi, apa yang terjadi?, pancingku menyambung ceritanya.
Singkatnya, aku menuliskan beberapa catatan ceritanya, bagaimana
kebenciannya kepada agama Islam menjadi awal ‘kehausan’ untuk mencari
tahu.
Suatu hari dia membeli makanan di pinggir jalan (Halal Food) di
kota Manhattan. Sekadar untuk diketahui, mayoritas mereka yang jual
makanan di pinggir jalan di kota New York adalah Muslim. Lalu
menurutnya, di gerobak penjual makanan itu tertulis “Laa ilaaha illa Allah-Muhammad Rasul Allah” dalam bahasa Arab.
Kebenciannya yang amat sangat kepada Islam, membuatnya tidak bisa
menahan diri untuk mengata-ngatai penjual makanan itu dengan kalimat, “Don’t turn people away from buying your food with that ….(bad word)’, katanya sinis!.
Tapi menurutnya lagi, sang penjual itu tidak menjawab dan hanya tersenyum, bahkan merespon dengan “Thank you for coming my friend!.”
Singkatnya, menurut dia lagi, sikap ramah si penjual makanan itu
selalu teringat dalam pikirannya. Bahkan sikap itu menjadikannya merasa
bersalah, tapi pantang untuk datang meminta maaf.
Ketidak inginannya meminta maaf itu, katanya sekali lagi, karena
kebenciannya kepada agama ini (Islam, red). "Itu benar-benar membuat
saya marah kepada diri saya, namun di saat yang sama, saya benar-benar
ingin tahu,” sambungnya.
“Awalnya, aku hanya googling beberapa informasi mengenai agama. Kemudian mendengarkan beberapa ceramah di Youtube
(terutama ceramah Hamzah Yusuf),“ ujarnya. Setelah itu kemudian membeli
beberapa buku karangan non Muslim, termasuk sejarah Rasul oleh Karen
Amstrong, Syari’ah oleh John Esposito, dan lain-lain.
"Semakin saya pelajari, semakin aku merasa menjadi curiga dan bingung,” akunya.
“Tapi apakah Anda pernah berpikir sebelumnya, mengapa begitu?,” ujarku.
“Saya tidak tahu, saya kira faktor media, katanya. Yang jelas,
setiap kali dia melihat pemboman, pembunuhan, perusakan, dan bahkan
beberapa aksi film, ada-ada saja Muslim yang terkait. "Saya benar-benar
tidak tahu dan bingung, apa yang sedang dipraktikkan orang-orang Islam
ini?."
Dia kembali berbicara panjang, seolah menyampaikan ceramah kepadaku
tentang “jurang besar” antara ilmu tentang Islam yang dia pahami dan
berbagai perangai yang dia lihat dari beberapa Muslim selama ini. Di
satu sisi, dia kagum dengan sikap penjual makanan tadi. Tapi di satu
sisi, dia marah dengan sikap beberapa orang Islam yang justru melakukan
apa yang disebutnya sebagai “kejahatan atas nama Islam.”
“Dan demikian, aku pada pihak mana? Apakah suatu hari nanti aku akan menjadi seorang Muslim?, tanyanya pada dirinya sendiri.
Setelah selesai, aku kemudian memulai mengambil kendali.
“Pertama, saya ucapkan selamat!,” kataku singkat. Tapi justu tampak bingung dengan ucapanku itu. Segera aku sambung ‘You have been a real American!’. Dia tersenyum tapi masih belum paham. “Kemarahan Anda dapat dimengerti,” kataku.
Pertama-tama, karena Anda tidak tahu dan akan mencari serta
bertanya tetang itu. Kedua, faktor media dan obat untuk itu adalah
memperjelas. Dan saya pikir Anda melakukan yang kedua,“ tambahku.
Aku mengajaknya mendiskusikan berbagai hal. Mulai dari sejarah
peperangan, terorisme, pembunuhan, perusakan, dari dulu hingga sekarang.
Dan sebaliknya, bagaimana Islam telah memainkan peranan besar dalam
membangun peradaban manusia.
“Sepanjang sejarah manusia, apa yang Anda lihat sekarang ini
tidaklah terlalu mengejutkan dan hal baru. Berapa banyak nyawa telah
diambil, properti dihancurkan dan rumah rusak?,” tanyaku. "Dan dari awal
Nabi Muhammad mengajarkan agama ini pada abad ke-7 di Arabia, hingga
hari ini, berapa banyak perang dan pembunuhan yang telah melibatkan
Muslim sebagai pelaku?,” pancingku lagi.
Dia tampak hanya geleng-geleng kepala dengan contoh-contoh yang aku
berikan. Dari Hitler, Stalin, Perang Dunia I dan II, Hiroshima dan
Nagasaki, dan seterusnya. Berapa di antara mereka yang terbunuh, dan
siapa yang melakukan? Peperangan di Irak, berapa yang terbunuh ketika
jet-jet Amerika mendrop boms di perkampungan-perkampungan? Siapa
mayoritas tentara Amerika?
Kemudian, pernahkah dilakukan studi secara dekat, untuk mengetahui
apakah benar bahwa pemboman, pembunuhan, perusakan yang dilakukan oleh
beberapa Muslim selama ini, walau atas nama Islam, memang dibenarkan
oleh Islam? Dan benarkah bahwa memang motifnya karena memperjuangkan
Islam dan Muslim, atau karena memang Islam dan Muslim adalah jembatan
menuju kepada ‘interest’ tertentu?, ceritaku panjang lebar.
Tak terasa, waktu adzan dhuhur telah tiba. “Sorry, that is what we call adzan or the call to pray,” jelasku.
Aku diam sejenak, dia juga tampak diam mendengarkan adzan dari
Sheikh Farahat, muadzin yang baru diterima sebagai pegawai di Islamic
Center. Suara tammatan Al-Azhar ini memang sangat indah.
Setelah adzan, aku kembali menyambung pembicaraan. Saat ini kita
membicarakan berbagai ketidakadilan yang terjadi di berbagai belahan
dunia, dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Secara ekonomi hanya
segelintir yang menikmati kue alam, secara politik ada pemaksaan
sistemik kepada negara lain, dan seterusnya.
“Dengan semua ini, dan tidak ada cara untuk mengatakan bahwa
pembunuhan, terutama ketika kita sampai pada kehidupan dan warga sipil
tak berdosa, adalah dibenarkan atas nama berjuang untuk keadilan,”
lanjutku.
Tapi karena waktu sangat singkat, aku bertanya “Apa pendapatmu?
Apakah ada hal yang membuat Anda berkeberatan?, " pancingku. Dia tampak
diam, tapi tersenyum dan mencoba berbicara.
“You are right!,” katanya singkat. "Aku sudah tidak adil
untuk diri saya sendiri! Asosiasi saya terhadap Islam dan perilaku
sebagian kaum Muslim benar-benar tidak adil.”
“You got the point, sir!”, jawabku singkat. “Sekarang, saya meminta izin sesaat untuk shalat.”
Tiba-tiba saja dia melihatku dengan sedikit serius. Kali ini tanpa
senyum dan berkata “Apa yang harus aku lakukan untuk menjadi seorang
Muslim?” tanyanya.
“Are you serious?” tanyaku.
“Yes!”, jawabnya singkat.
“Follow me!”, ajakku.
Aku ajak dia ke ruang wudhu, mengajarinya berwudhu, lalu ke ruang
shalat. Sambil menunggu waktu iqamah, aku menyampaikan kepadanya. "Apa
yang akan saya lakukan adalah membawa Anda untuk menyatakan iman Anda
yang baru dengan apa yang kita sebut syahadat. Dan itu adalah untuk
bersaksi bahwa tiada Tuhan yang layak untuk disembah kecuali Allah dan
Muhammad adalah Rasul-Nya,” jelasku seraya mengingatkan apa yang pernah
dia lihat dahulu di gerobak penjual makanan itu.
Sebelum iqamah dimulai aku ajak, Peter Scott, begitu nama pria tersebut, ke depan jama’ah dan menuntunnya mengucapkan “Asy-hadu anlaa ilaaha illa Allah wa asy-hadu anna Muhammadan Rasul Allah,” seraya diikuti gema takbir sekitar 200-an jama’ah shalat Dhuhur hari ini.
“Peter, Anda seorang Muslim sekarang, seperti orang lain di sini
hari ini. Tidak ada diantara Anda yang kurang. Sebenarnya, Anda lebih
baik dari kami karena Anda dipilih untuk menjadi, bukan hanya dilahirkan
ke dalamnya dan mengikutinya,” jelasku sambil meminta untuk mengikuti
gerakan-gerakan shalat sebisanya, tapi dengan konsentrasi.
Allahu Akbar! Semoga Peter selalu dijaga dan dijadikan pejuang di jalanNya! Oleh: M. Syamsi Ali (hidayatullah)
sumber: jurnalhajiumroh.com
0 komentar:
Posting Komentar