Blok Mahakam Mau Terus Diterkam


Potensi gas di blok ini masih sangat besar. Nilainya bisa mencapai Rp 1.700 trilyun. Asing tak mau hengkang.
Tahukah Anda di mana ladang gas terbesar di Indonesia? Pasti kebanyakan orang Indonesia tidak mengetahuinya. Walhasil, banyak orang Indonesia tak begitu peduli ketika ladang itu dirampok oleh orang asing.
Hampir bersamaan waktunya dengan Freeport, ladang gas terbesar di Blok Mahakam, Kalimantan Timur ini telah diduduki oleh asing sejak awal Orde Baru. Blok itu jatuh ke tangan  Total E&P Indonesie (Prancis) dan Inpex Corporation (Jepang) pada 31 Maret 1967, beberapa pekan setelah Soeharto dilantik menjadi Presiden RI ke-2. Masing-masing perusahaan itu memegang sharing kepemilikan sebesar 50 persen.

Kontrak berlaku selama 30 tahun hingga 31 Maret 1997. Namun beberapa bulan sebelum Soeharto lengser, kontrak Mahakam telah diperpanjang selama 20 tahun, sehingga kontrak akan berakhir pada 31 Maret 2017.
Lima tahun sebelum kontrak itu berakhir, perusahaan Prancis itu merencanakan untuk memperpanjangnya lagi. Berbagai lobi tingkat tinggi dilakukan. Tidak hanya secara bisnis, tapi juga secara politik. Sampai-sampai Perdana Menteri Prancis Francois Fillon sengaja datang ke Indonesia pada Juli 2011 untuk meminta perpanjangan kontrak Mahakam. Lobi berikutnya dilakukan oleh Menteri Perdagangan Luar Negeri Prancis Nicole Bricq kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik saat mantan menteri asal Partai Demokrat ini berada di Paris, 23 Juli 2012.
Lobi juga dilakukan oleh CEO Inpex Toshiaki Kitamura saat bertemu Wakil Presiden Boediono dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 14 September 2012. Pihak Inpex beberapa kali mengadakan kunjungan ke kantor Kementerian ESDM untuk maksud yang sama.
Tidak tanggung-tanggung, perusahaan asing itu ingin memperpanjangnya lagi kontraknya selama 25 tahun. Artinya perusahaan itu ingin terus bercokol di Blok Mahakam hingga 2042. Public Affairs and Corporate Communication Total E&P Indonesie Leo Tobing, dalam satu kesempatan mengakui kuatnya keinginan Total untuk terus menggarap Blok Mahakam. “Kami sudah ajukan perpanjangan kontrak atas Blok Mahakam. Kami optimistis karena kamilah yang paling paham,” kata Leo.
Mengapa mereka ingin memperpanjang? Tentu karena blok gas ini sangat menguntungkan bagi dua negara tersebut. Ibarat pepatah: ada gula, ada semut.
Potensi Besar
Blok Mahakam merupakan salah satu ladang gas terbesar di Indonesia. Berdasarkan data yang pernah dilansir oleh BP Migas, saat ini rata-rata produksinya sekitar 2.000 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) atau sekitar 344.000 barel oil equivalen (boe)  per hari.  Cadangan yang terkandung di blok ini sekitar 27 trilliun cubic feet (tcf). Dari 1970 hingga 2011, sekitar 50 persen (13,5 tcf) cadangan telah dieksploitasi, menghasilkan pendapatan kotor sekitar US$ 100 milyar.
Sementara itu cadangan yang tersisa saat ini sekitar 12,5 tcf, dengan harga gas yang terus naik. Jika diasumsika rata-rata harganya US$ 15/MMBtu, maka dari cadangan ini berpotensi menghasilkan pendapatan kotor lebih dari US$ 187 milyar (12,5 x 1012  x 1000 Btu x $15/106 Btu) atau sekitar Rp 1.700 trilyun.
Produksi harian dari blok ini mencapai 2,5 bcf (billiun cubic feet) per hari. Sebanyak 80 persen kebutuhan kilang LNG Bontang berasal dari blok ini.  Sebagian besar dari LNG tersebut kemudian diekspor ke Jepang, Korea Selatan,  dan Taiwan. Selain itu, blok ini juga memproduksi 92 ribu barel minyak dan kondensat pada tahun 2011 (platt.com). Blok Mahakam adalah ladang migas terbesar Total di Indonesia.
Petisi
Hingga pertengahan Oktober lalu, nada-nadanya pemerintah akan memperpanjang kontrak Total dan Inpex. Di tengah kondisi tersebut, masyarakat menuntut agar pemerintah menghentikan kontrak tersebut. Tuntutan itu digalang oleh IRESS (Indonesian Resourses Studies) dalam bentuk petisi yang diberi nama "Petisi Blok Mahakam Untuk Rakyat". Petisi ini ditujukan kepada Presiden SBY dan disampaikan melalui aksi pada Rabu (17/10) di depan Istana Negara.
Petisi ini tak main-main karena didukung oleh tokoh-tokoh nasional di antaranya Chandra Tirta Wijaya (anggota DPR RI), Marwan Batubara (Direktur Eksekutif IRESS), Sri-Edi Swasono, Kwik Kian Gie, Kurtubi, Hatta Taliwang, Suripto, Hendri Saparini, Mochtar Pabottingi, Anis Baswedan, Iman Sugema, Revrisond Baswir, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat serta mahasiswa dari seluruh Indonesia.
Petisi ini menuntut pemerintah tak memperpanjang lagi kontrak dengan perusahaan Prancis dan Jepang itu. “Padahal sesuai UU Migas No.22/2001, jika kontrak migas berakhir, pengelolaannya dapat diserahkan kepada BUMN. Apalagi hal ini sesuai amanat konstitusi dan kepentingan strategis nasional. Pertamina pun telah menyatakan keinginan dan kesanggupan mengelola Blok Mahakam berkali-kali sejak 2008 hingga sekarang," kata Marwan Batubara di Gedung DPR, Jakarta Rabu (10/10).
Ketua Lajnah Maslahiyah DPP HTI Arim Nasim menilai, suatu yang wajar jika pengelolaan Blok Mahakam diambil alih oleh pemerintah. Selain kontraknya telah habis, pengambilalihan itu akan menguntungkan rakyat dan sesuai syariah Islam.
Ia kemudian mengungkap data dari Kementerian ESDM  sendiri yang menunjukkan, pada tahun 2011 dari total produksi gas di Indonesia yang mencapai 3,26 TCF, produsen utamanya dipegang oleh Total (27 persen), Conoco (17 persen), Pertamina dan mitranya (13 persen) dan Britis Petrolium (12 persen). “Dengan kata lain, 87 persen gas nasional dikelola oleh pihak swasta,” katanya seraya menjelaskan ini belum diperhitungkan blok yang dikelola oleh Pertamina yang menggandeng pihak swasta.
Ia menekankan, benar dalam sistem kontrak seperti ini negara tetap mendapatkan keuntungan melalui skema Production Sharing Contract (PSC). Namun tetap saja secara ekonomis akan lebih menguntungkan jika kekayaan alam tersebut dikelola oleh negara lewat BUMN.
Yang menyedihkan lagi, lanjutnya, sebagian besar produksi gas yang diproduksi di negeri ini justru lebih banyak diekspor. Berdasarkan Neraca Gas Indonesia tahun 2010-2025, total pasokan produksi gas baik untuk tahun 2012 masih defisit jika dibandingkan dengan permintaan domestik. Pada tahun 2010 misalnya sebanyak 52 persen dari produksi gas dalam negeri diekspor ke mancanegara.
Padahal kebutuhan gas dalam negeri belum tercukupi seperti yang mendera PLN dan sektor industri manufaktur  sehingga terpaksa menggunakan BBM yang harganya jauh lebih mahal. DPR pun telah sepakat untuk kenaikan tarif dasar listrik pada 2013 sebesar 15 persen. “Ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika sumber energi PLN yang sebagian besar menggunakan BBM dikonversikan ke gas,” paparnya.


sumber: Mediaumat.com

0 komentar:

Posting Komentar

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com